Ketahanan Nasional di Tengah Perebutan Pengaruh AS-China: Bisakah Indonesia Bertahan Netral
Tantangan Geopolitik dan Ekonomi
Perang dagang AS-China telah mengganggu rantai pasok global, yang berdampak langsung pada ekonomi Indonesia. Sebagai negara yang bergantung pada ekspor bahan baku ke kedua negara tersebut, Indonesia menghadapi penurunan permintaan dan harga komoditas global, yang berimbas pada penerimaan nasional. Data dari Kementerian Pertahanan RI menunjukkan bahwa pelemahan ekonomi AS dan China telah menekan sektor ekspor Indonesia, khususnya komoditas seperti nikel, batubara, dan minyak sawit. Meskipun Indonesia berhasil menarik relokasi investasi senilai USD 14,7 miliar dari 58 perusahaan sejak 2019, terutama di sektor semikonduktor dan panel surya, ketergantungan pada input industri dari China tetap tinggi. Hal ini menimbulkan kerentanan jika eskalasi konflik global terjadi.
Di sisi lain, peluang ekonomi dari perang dagang juga nyata. Pembatasan teknologi AS terhadap China membuka peluang bagi Indonesia sebagai alternatif lokasi relokasi industri. Pemerintah telah menawarkan insentif fiskal, seperti pembebasan pajak hingga 20 tahun dan pengurangan pajak untuk litbang hingga 300%, untuk menarik investor. Namun, peluang ini diiringi risiko keamanan siber, seperti potensi infiltrasi teknologi sensitif dari kedua kubu, yang dapat mengancam infrastruktur kritis nasional. Tanpa strategi yang matang, Indonesia berisiko menjadi medan pertempuran proxy dalam perang teknologi global.
Militerisasi Laut China Selatan dan Ancaman Kedaulatan
Militerisasi di Laut China Selatan merupakan ancaman langsung terhadap kedaulatan Indonesia, khususnya di wilayah Natuna. Meskipun Indonesia bukan pihak dalam sengketa wilayah, klaim sepihak China melalui "Nine-Dash Line" telah bersinggungan dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia sejak 2010, dengan puncaknya pada 2016 ketika kapal penangkap ikan China melakukan aktivitas ilegal di perairan Natuna. Pemerintahan Joko Widodo telah merespons dengan diplomasi dan penyiagaan militer, namun kekuatan maritim Indonesia masih terbatas dibandingkan armada China atau AS. Modernisasi alutsista, seperti kerja sama dengan Korea Selatan untuk pengembangan kapal selam dan jet tempur, menjadi langkah strategis, tetapi implementasinya memakan waktu dan sumber daya besar.
Netralitas Indonesia diuji oleh tekanan dari kedua kekuatan. AS, melalui aliansi seperti QUAD dan AUKUS, memperkuat kehadiran militernya di Indo-Pasifik, sementara China terus melakukan unjuk kekuatan militer di Laut China Selatan. Indonesia harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam blok kekuatan tertentu, sekaligus memastikan jalur pelayaran internasional tetap aman. Prinsip bebas-aktif yang digagas Mohammad Hatta pada 1948 menuntut Indonesia untuk tetap netral namun aktif dalam diplomasi perdamaian, seperti mendorong dialog di forum ASEAN atau PBB. Namun, tanpa penguatan kapasitas militer dan kerja sama antar-institusi keamanan, posisi netral ini berisiko menjadi sekadar retorika.
Persepsi Publik dan Tantangan Domestik
Survei China-Indonesia 2024 oleh Celios mengungkapkan bahwa 78% masyarakat Indonesia mendukung netralitas dalam persaingan AS-China, namun 51% menyatakan kekhawatiran terhadap pengaruh ekonomi China, terutama terkait proyek infrastruktur Belt and Road Initiative (BRI). Sebanyak 44% responden menilai proyek infrastruktur China berdampak negatif, khususnya terhadap lingkungan, sementara 43% mengaitkannya dengan kerusakan lingkungan. Kekhawatiran ini mencerminkan tantangan domestik: bagaimana pemerintah menyeimbangkan manfaat ekonomi dari hubungan dengan China tanpa mengorbankan kedaulatan dan kesejahteraan rakyat?\
Di sisi lain, hubungan business-to-business dengan AS tetap dominan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, terutama di sektor manufaktur dan inovasi. Namun, ketimpangan ekonomi, korupsi, dan isu separatisme di dalam negeri melemahkan ketahanan nasional. Globalisasi juga membawa ancaman ideologis, di mana nilai-nilai Pancasila sebagai fondasi ideologi negara harus terus diperkuat untuk menangkal pengaruh asing. Pemerintah perlu memperkuat pendidikan nasional dan identitas kebangsaan untuk menjaga persatuan, sekaligus meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar mampu bersaing di pasar global.
Strategi Menuju Ketahanan Nasional
Untuk bertahan netral, Indonesia harus mengadopsi pendekatan lintas sektoral yang terpadu, sebagaimana diusulkan dalam pendekatan Whole of Government. Pertama, penguatan ketahanan ekonomi melalui hilirisasi industri, digitalisasi UMKM, dan pengembangan National Supply Chain Resilience Roadmap harus menjadi prioritas. Kedua, modernisasi pertahanan, khususnya di sektor maritim, perlu dipercepat untuk menjaga kedaulatan di Natuna dan memastikan keamanan jalur pelayaran. Ketiga, diplomasi aktif di forum ASEAN, G20, dan PBB harus dimanfaatkan untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai mediator netral, sebagaimana terbukti dalam keberhasilan Presidensi G20 2022.
Keamanan siber juga tidak boleh diabaikan. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) harus berkolaborasi dengan TNI dan Polri untuk melindungi infrastruktur kritis dari ancaman cyber warfare, yang meningkat seiring persaingan teknologi AS-China. Terakhir, pemerintah perlu meningkatkan transparansi dan keterlibatan publik dalam kebijakan luar negeri untuk menjaga legitimasi netralitas di mata rakyat.
Kesimpulan
Indonesia berada di persimpangan jalan: memanfaatkan peluang ekonomi dari persaingan AS-China atau terjebak dalam polarisasi geopolitik. Netralitas adalah aset strategis, tetapi hanya efektif jika didukung oleh ketahanan nasional yang kuat—ekonomi yang mandiri, pertahanan yang tangguh, dan identitas kebangsaan yang kokoh. Tanpa strategi yang terukur dan proaktif, Indonesia berisiko kehilangan kedaulatan dan daya saingnya. Dengan memanfaatkan posisi geopolitik, sumber daya alam, dan tradisi diplomasi bebas-aktif, Indonesia memiliki peluang untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga menjadi kekuatan tengah yang disegani di panggung global. Namun, waktu untuk bertindak adalah sekarang, sebelum gelombang persaingan global menyeret Indonesia ke dalam pusaran yang tidak diinginkan.
Red.
Post a Comment